Dalam dunia investasi saham, ada
satu nasihat klasik yang sering diulang-ulang oleh para investor berpengalaman:
"Jangan jatuh cinta pada saham Anda." Kalimat sederhana ini menyimpan
makna yang dalam, terutama bagi investor ritel yang seringkali terjebak dalam
emosi saat mengambil keputusan.
Di artikel ini, kita akan
membahas apa maksud dari nasihat tersebut, mengapa banyak investor terjebak
dalam bias emosional, serta bagaimana cara menjaga objektivitas dalam
berinvestasi agar tidak merugikan diri sendiri.
1. Apa Maksud “Jangan Jatuh
Cinta Pada Saham”?
Secara harfiah, “jatuh cinta”
identik dengan perasaan terikat, kagum, dan loyal pada sesuatu. Dalam konteks
saham, frasa ini mengacu pada kondisi ketika investor terlalu menyukai atau
terlalu percaya pada satu saham tertentu, entah karena sudah untung besar di
masa lalu, menyukai produknya, atau merasa punya “ikatan emosional” dengan
perusahaan tersebut.
Masalahnya, ketika emosi sudah
masuk, objektivitas mulai kabur. Investor cenderung mengabaikan tanda-tanda
peringatan, enggan menjual saat fundamental memburuk, dan terlalu yakin bahwa
saham favoritnya akan “comeback”.
2. Mengapa Ini Berbahaya?
a. Mengabaikan Data dan
Fundamental
Saham adalah representasi dari
sebuah bisnis. Jika bisnisnya menurun atau manajemennya mulai tidak sehat, maka
nilai sahamnya pun layak dipertanyakan. Namun investor yang sudah “terlalu
cinta” sering kali membutakan diri terhadap fakta ini.
Contoh: Saham perusahaan
teknologi yang dulu tumbuh sangat cepat, tapi saat ini mengalami penurunan
pendapatan dan profitabilitas. Investor yang objektif akan mengevaluasi ulang.
Investor yang jatuh cinta? Akan berkata, “Ah, ini cuma sementara, nanti juga
naik lagi.”
b. Menolak Cut Loss
Salah satu kesalahan paling umum
adalah tidak mau menjual saham yang sudah turun jauh, dengan harapan akan
kembali ke harga semula. Padahal, tidak semua saham yang turun akan bangkit.
Namun karena rasa sayang yang berlebihan, investor menahan rugi terlalu lama
dan malah makin dalam.
c. Overexposure
Kadang, karena terlalu yakin
dengan satu saham, investor menaruh porsi yang sangat besar dari portofolionya
di sana. Jika ternyata saham tersebut turun drastis, portofolio pun ikut
ambruk. Tidak ada diversifikasi, tidak ada mitigasi risiko.
3. Mengapa Investor Bisa Jatuh
Cinta?
Ada beberapa alasan mengapa
banyak investor terjebak secara emosional:
a. Pernah Memberikan
Keuntungan Besar
Jika sebuah saham pernah
memberikan profit besar, investor cenderung “berutang budi” secara emosional.
Mereka merasa saham ini spesial dan akan mengulang kesuksesan.
b. Mengenal Produk atau
Brand-nya
Menyukai produk sebuah perusahaan
bukan berarti sahamnya otomatis layak dibeli. Contoh, Anda bisa menjadi
pengguna setia handphone merek tertentu, tapi belum tentu sahamnya sehat secara
keuangan.
c. Mengikuti Figur Publik atau
Influencer
Banyak investor pemula membeli
saham karena direkomendasikan oleh tokoh terkenal atau influencer saham di
media sosial. Karena merasa “ikut panutan”, mereka jadi emosional dan tidak
objektif terhadap pergerakan harga.
4. Bagaimana Cara Menghindari
Jebakan Ini?
a. Ingat: Saham Bukan
Identitas
Saham hanyalah instrumen
investasi, bukan bagian dari siapa diri Anda. Jangan bangga atau malu karena
memegang saham tertentu. Fokuslah pada data dan prospek perusahaan, bukan pada
kebanggaan pribadi.
b. Tinjau Ulang Secara Berkala
Selalu lakukan evaluasi
portofolio secara berkala, minimal setiap kuartal. Jika ada saham yang mulai
kehilangan daya tarik fundamental, tidak apa-apa untuk keluar. Tak ada tempat
untuk “setia buta” dalam investasi.
c. Gunakan Checklist Investasi
Buatlah daftar kriteria saat
membeli saham, seperti rasio keuangan, pertumbuhan laba, kualitas manajemen,
valuasi, dan sebagainya. Jika saham favorit Anda tidak lagi memenuhi kriteria
ini, artinya sudah saatnya dievaluasi ulang.
d. Jangan Takut Ambil
Keputusan Sulit
Menjual saham yang sudah lama
Anda pegang bisa terasa berat, apalagi jika dulunya memberi keuntungan besar.
Tapi ingat: Anda berinvestasi untuk masa depan, bukan untuk mengenang masa
lalu.
5. Studi Kasus: Saham yang
Dulu Hebat, Sekarang Terpuruk
Beberapa saham populer di masa
lalu akhirnya turun drastis karena perubahan fundamental, regulasi, atau tren
industri.
Contohnya adalah perusahaan ritel
besar yang dulu menguasai pasar, tapi gagal beradaptasi dengan e-commerce.
Banyak investor yang bertahan karena “dulu saham ini naik tinggi”, dan berakhir
dengan kerugian besar.
Studi lain menunjukkan bahwa
saham teknologi yang naik luar biasa di masa pandemi bisa turun lebih dari 70%
ketika kondisi makroekonomi berubah. Investor yang tidak mampu move on dari
saham favoritnya akan ikut tenggelam bersama penurunannya.
6. Kutipan Bijak dari Investor
Legendaris
Warren Buffett pernah berkata:
“The most important quality for
an investor is temperament, not intellect.”
Artinya, mengendalikan emosi jauh
lebih penting daripada menjadi cerdas secara teknikal. Buffett juga menekankan
pentingnya “kill your darlings”, sebuah prinsip yang juga dikenal di dunia
penulisan dan bisnis: berani melepaskan sesuatu yang Anda sukai demi hasil yang
lebih baik.
7. Saham Bisa Diganti, Tujuan
Tidak
Ingatlah bahwa tujuan utama Anda
adalah mengembangkan kekayaan, mencapai kebebasan finansial, dan mengalahkan
inflasi. Saham hanyalah kendaraan. Jika kendaraan Anda mogok, Anda tidak akan
memaksanya jalan terus, Anda akan menggantinya dengan kendaraan yang lebih
baik.
Begitu pula dalam investasi. Jika
ada saham yang tidak lagi relevan dengan strategi Anda, gantilah tanpa ragu.
Baca Juga: Bagaimana Saham Growth Lebih Bagus daripada Saham Value
Kesimpulan
Dalam investasi saham, emosi bisa
menjadi musuh paling berbahaya. Terlalu mencintai saham tertentu membuat kita
buta terhadap realita dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar investasi yang
rasional.
“Jangan jatuh cinta pada saham
Anda” adalah pengingat agar kita tetap waras dan disiplin. Pegang saham karena
alasan logis, bukan emosional. Evaluasi secara berkala. Dan jika perlu, jangan
ragu untuk menjual, bahkan jika itu adalah saham yang dulu sangat Anda
banggakan.
Karena pada akhirnya, kesetiaan
dalam investasi bukan pada saham, tapi pada tujuan keuangan Anda.
Komentar
Posting Komentar