Pasar saham selalu bergerak naik
dan turun. Ada masa-masa di mana indeks saham naik dengan cepat, dan ada pula
saat di mana pasar mengalami penurunan tajam. Ketika harga saham jatuh, banyak
investor merasa panik dan tergoda untuk menjual saham mereka demi
“menyelamatkan” modal yang tersisa. Namun, menjual saham ketika pasar turun
sering kali merupakan keputusan yang kurang tepat dan justru bisa merugikan
dalam jangka panjang.
Dalam artikel ini, kita akan
membahas alasan-alasan mengapa Anda sebaiknya tidak terburu-buru menjual saham
pada saat pasar sedang turun, lengkap dengan contoh, strategi yang lebih bijak,
dan panduan menghadapi volatilitas.
1. Pasar Selalu Bersifat
Siklus
Salah satu alasan utama untuk tidak
menjual saham saat pasar turun adalah sifat alami pasar saham yang bersifat
siklus. Dalam sejarah, pasar selalu mengalami fase naik (bull market) dan turun
(bear market), tetapi tren jangka panjangnya hampir selalu naik.
Contohnya, jika kita melihat
indeks S&P 500 sejak tahun 1950-an, kita akan menemukan beberapa krisis
besar seperti:
- Krisis minyak 1973
- Black Monday 1987
- Dot-com bubble 2000
- Krisis finansial global 2008
- Pandemi COVID-19 2020
Namun, meskipun ada banyak
penurunan tajam, indeks saham besar hampir selalu pulih dan bahkan mencetak
rekor baru. Investor yang menjual saat panik pada masa krisis kehilangan
peluang besar untuk menikmati kenaikan di masa pemulihan.
Pelajaran penting:
Jika Anda menjual saham ketika pasar sedang turun, kemungkinan besar Anda akan mengunci
kerugian dan kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan kenaikan berikutnya.
2. Menjual Saat Turun Sama
dengan Mengunci Kerugian
Misalkan Anda membeli 100 lembar
saham sebuah perusahaan seharga Rp5.000 per lembar. Total investasi Anda
Rp500.000.
Tiba-tiba, karena sentimen pasar
negatif, harga saham turun menjadi Rp3.000 per lembar. Jika Anda memutuskan
untuk menjual semuanya, berarti Anda menerima kerugian Rp200.000.
Namun, jika saham tersebut
memiliki fundamental yang baik dan bisnisnya masih sehat, ada kemungkinan besar
harganya akan kembali naik ke Rp5.000 atau bahkan lebih tinggi dalam beberapa
bulan atau tahun mendatang. Dalam hal ini, menjual saat turun justru membuat
kerugian menjadi permanen.
Dengan kata lain, penurunan harga
saham baru menjadi kerugian nyata ketika Anda menjualnya. Jika Anda tetap
memegangnya, nilai portofolio Anda memang sementara turun, tetapi potensi
pemulihan masih ada.
3. Pasar Digerakkan oleh
Emosi, Bukan Selalu oleh Fundamental
Banyak investor ritel terjebak
dalam perangkap psikologis ketika melihat pasar turun. Ketakutan dan kepanikan
sering kali mendorong orang untuk menjual tanpa pertimbangan rasional. Padahal,
dalam banyak kasus, penurunan harga saham bukan berarti perusahaan tersebut
mengalami masalah besar.
Pasar bisa turun karena berbagai
alasan, misalnya:
- Kabar buruk tentang ekonomi global
- Kenaikan suku bunga
- Sentimen investor terhadap risiko
- Faktor geopolitik
- Spekulasi dan rumor
Jika Anda menjual saham hanya
karena melihat harga turun, Anda sebenarnya sedang membiarkan emosi
mengendalikan keputusan investasi. Investor sukses justru memanfaatkan momen
ini untuk membeli saham berkualitas dengan harga diskon.
4. Strategi “Buy the Dip”
Lebih Menguntungkan daripada Panik Jual
Alih-alih panik dan menjual saham
ketika pasar turun, ada strategi yang lebih cerdas yaitu “buy the dip”.
Strategi ini berarti membeli saham ketika harganya turun dari level tertinggi
karena sentimen pasar, bukan karena fundamental perusahaan memburuk.
Contohnya, selama krisis COVID-19
pada Maret 2020, banyak saham-saham besar seperti Apple, Microsoft, Amazon, dan
Tesla jatuh hingga lebih dari 30%. Investor yang menjual karena panik akhirnya
menyesal, sementara mereka yang membeli saat harga murah menikmati keuntungan
besar ketika pasar pulih.
Tips buy the dip:
- Fokus pada saham dengan fundamental kuat
- Pastikan perusahaan memiliki pendapatan stabil dan
utang terkendali
- Jangan menggunakan seluruh modal sekaligus, lakukan
pembelian bertahap
- Siapkan dana darurat agar tidak terpaksa menjual
saham di saat rugi
Dengan strategi ini, Anda tidak
hanya menghindari kerugian, tetapi juga memanfaatkan penurunan pasar sebagai
peluang.
5. Time in the Market Lebih
Penting daripada Timing the Market
Banyak investor gagal karena
mencoba menebak kapan pasar akan jatuh atau naik. Padahal, hampir tidak ada
yang bisa memprediksi pergerakan pasar secara konsisten. Bahkan analis
profesional sekalipun sering meleset dalam memprediksi waktu terbaik untuk
membeli atau menjual.
Kunci sukses dalam investasi
saham bukanlah timing the market, melainkan time in the market seberapa lama
Anda bertahan di pasar.
Menurut studi dari J.P. Morgan,
investor yang melewatkan 10 hari terbaik dalam pasar saham dalam 20 tahun
terakhir bisa kehilangan lebih dari 40% potensi keuntungan. Sayangnya, 10 hari
terbaik ini biasanya datang tidak lama setelah penurunan terbesar.
Artinya, jika Anda menjual saham
saat pasar turun, kemungkinan besar Anda juga melewatkan fase pemulihan yang
justru memberikan keuntungan terbesar.
6. Diversifikasi dan Mindset
Jangka Panjang adalah Kunci
Salah satu alasan utama investor
panik saat pasar turun adalah karena terlalu terpapar pada satu saham atau satu
sektor. Jika portofolio Anda hanya berisi satu atau dua saham, setiap penurunan
harga akan terasa signifikan dan menakutkan.
Solusinya adalah diversifikasi
portofolio:
- Investasikan dana di berbagai sektor
- Miliki kombinasi saham, obligasi, reksa dana, dan
ETF
- Pertimbangkan juga aset lindung nilai seperti emas
- Jangan taruh semua dana di saham berisiko tinggi
Dengan portofolio yang
terdiversifikasi, volatilitas pasar menjadi lebih mudah dihadapi. Selain itu,
ubahlah mindset dari trading jangka pendek menjadi investasi jangka panjang.
Jika Anda yakin dengan fundamental perusahaan, penurunan sementara bukanlah
alasan untuk menjual.
7. Kapan Sebaiknya Menjual
Saham?
Meskipun artikel ini menekankan tidak
menjual saat pasar turun karena panik, bukan berarti Anda harus selalu menahan
saham dalam kondisi apa pun. Ada beberapa situasi di mana menjual bisa menjadi
langkah bijak, misalnya:
- Fundamental perusahaan memburuk (pendapatan turun
drastis, utang membengkak)
- Ada perubahan besar dalam industri yang membuat
bisnis perusahaan kurang relevan
- Portofolio terlalu berat pada satu saham dan Anda
ingin melakukan rebalancing
- Butuh dana tunai mendesak, tetapi ini sebaiknya
dihindari dengan perencanaan keuangan yang baik
Jadi, bedakan antara menjual
karena strategi rasional dan menjual karena panik. Fokuslah pada alasan yang
berbasis analisis, bukan sekadar sentimen pasar.
Baca Juga: Bagaimana Membuat Portofolio Investasi yang Seimbang dari Awal
Kesimpulan
Menjual saham ketika pasar turun
adalah salah satu kesalahan paling umum yang dilakukan investor, terutama
pemula. Kepanikan dan ketakutan sering membuat keputusan investasi menjadi
tidak rasional. Sejarah membuktikan bahwa pasar saham selalu mengalami
naik-turun, tetapi tren jangka panjangnya cenderung naik.
Daripada menjual, strategi yang
lebih bijak adalah:
- Tetap tenang dan evaluasi fundamental saham
- Gunakan penurunan sebagai peluang untuk membeli
- Pikirkan investasi jangka panjang, bukan spekulasi
jangka pendek
- Diversifikasi portofolio agar risiko lebih
terkendali
Ingatlah, kesabaran adalah aset terbesar investor. Mereka yang mampu menahan diri dan bertahan di pasar memiliki peluang jauh lebih besar untuk menikmati pertumbuhan kekayaan di masa depan.
Komentar
Posting Komentar